ALAMSYAH HOMESTAY
CP : 085228292774 (AJIN)
GANDRUNG
""Gandrung"" masyarakat Banyuwangi mengartikan sebagai
terpesonanya masyarakat Blambangan yang agraris kepada Dewi Sri sebagai Dewi
Padi yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Tarian Gandrung Banyuwangi biasanya dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat
setiap paska panen. Gandrung merupakan pertunjukan
seni yang disajikan dengan iringan musik khas perpaduan budaya Jawa dan Bali. Tarian
ini dilakukan dalam bentuk berpasangan antara perempuan (penari gandrung) dan
laki-laki (pemaju) yang dikenal dengan "paju".
Tarian yang diiringi dengan orkestrasi khas populer di wilayah Banyuwangi yang
terletak di ujung timur Pulau Jawa, dan telah menjadi ciri khas dari wilayah
tersebut, hingga tak salah jika Banyuwangi selalu diidentikkan dengan “Gandrung”.
Kenyataannya, Banyuwangi sering dijuluki Kota Gandrung dan patung penari
gandrung dapat dijumpai di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti
perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi
tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun, tari gandrung laki-laki baru
benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya yaitu Marsan.
Pada awal mulanya Gandrung ditujukan untuk menghibur para pembabat hutan,
mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang
angker.
Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi,
seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895.
Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup
parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung
sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras,
sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan
kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan
dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung
oleh wanita.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik
perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya.
Kesenian ini kemudian terus berkembang di Banyuwangi dan menjadi ikon khas
setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan
penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis
muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan
menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan
eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.
Kepala dipasangi hiasan serupa mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari
kulit kerbau yang disamak dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta
diberi ornamen tokoh Antasena, putra Bima yang berkepala manusia raksasa namun
berbadan ular serta menutupi seluruh rambut penari gandrung.
Selanjutnya pada
mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah
sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga yang disebut
cundhuk mentul di atasnya. Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang
pada gilirannya memberi kesan magis.
Busana atau kostum yang dikenakan untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat
dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta
manik-manik yang mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga
dada, sedang bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian
leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai
penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah
kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta
diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya. Selendang selalu
dikenakan di bahu.
Penari gandrung menggunakan kain batik dengan corak bermacam-macam. Namun corak
batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan
corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah pada dasar kain
putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi.
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah kempul atau
gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah
kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan tidak lengkap jika
tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut pengudang (pemberi semangat)
yang bertugas memberi semangat dan memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan
gandrung. Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.
Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana
sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.
Tahapan-Tahapan Pertunjukan
Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian:
* jejer
* maju atau ngibing
* seblang subuh
Jejer
Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung. Pada bagian ini,
penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo, tanpa tamu. Para tamu
yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
Maju
Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang
untuk diberikan kepada tamu. Tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat
kesempatan menari bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang,
membentuk bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung
akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan
gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung, yakni
tergila-gila atau hawa nafsu.
Setelah selesai, si penari akan mendatang rombongan penonton, dan meminta salah
satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini
diselang-seling antara maju dan repèn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan
berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh.
Seblang subuh
Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung
Banyuwangi. Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah
bagian seblang subuh. Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh
penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama
atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih
seperti misalnya seblang lokento. Suasana mistis terasa pada saat bagian
seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang, suatu
ritual penyembuhan atau penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai)
oleh penari-penari wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang
subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup satu
pertunjukan pentas gandrung.
Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan
meningkat. Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang
mengandung nilai-nilai historis komunitas Using yang terus-menerus tertekan
secara struktural maupun kultural. Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk
perlawanan kebudayaan daerah masyarakat Using.
Sejak Desember 2000, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi
yang disusul pematungan gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa.
Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk
dipentaskan di beberapa tempat seperti Surabaya , Jakarta , Hongkong, dan
beberapa kota di Amerika Serikat.